Agak lucu urusan klaim-mengklaim
PSSI antara kubu Djohar Arifin dan La
Nyala. Sampai-sampai muncul
pertanyaan, "Sebenarnya PSSI
punya siapa?" Djohar Arifin mengklaim bahwa
kelompoknyalah PSSI sesungguhnya
karena diakui FIFA. Sementara di sisi
lain, kelompok La Nyala juga
mengklaim bahwa PSSI-nya lah yang
sah karena diangkat dan diakui oleh anggota PSSI. Secara organisasi, harusnya memang
PSSI La Nyala yang sah, karena PSSI
berada di bawah kendali anggotanya.
Walaupun PSSI berafiliasi ke FIFA,
bukan berarti PSSI berada di bawah
FIFA. Ketua Umum PSSI tidak pernah diangkat atau diberhentikan oleh
FIFA, melainkan selalu diputuskan
berdasarkan kongres PSSI, di mana
FIFA tidak memiliki hak suara. Namun di sisi lain, PSSI La Nyala juga
akan menjadi sia-sia jika tidak
mendapat pengakuan dari FIFA. Maka
adalah benar ucapan Djohar Arifin,
"Timnas PSSI tandingan mau main
lawan siapa?" Kebencian antar dua kubu
nampaknya memang sudah mencapai
ubun-ubun. Dalam satu talk show di
TV, Djohar pernah berujar bahwa ia
hanya mau berdiskusi dengan klub-
klub ISL, tapi tidak dengan PSSI La Nyala. Begitu pula La Nyala seakan
sudah tidak mau tahu dengan PSSI
Djohar karena menurutnya mandat
kepengurusan PSSI Djohar sudah
ditarik kembali oleh anggota PSSI. Badai sempat mereda ketika AFC
berhasil memediasi kedua kelompok
dengan adanya penandatanganan
MoU di Kuala Lumpur serta
membentuk Joint Committee. Kubu
Djohar, setelah ditekan Menpora dengan membekukan pencarian dana
untuk Tim Nasional, juga sudah
melunak dengan memberikan
kesempatan kepada pemain-pemain
yang berlaga di ISL untuk bergabung
di skuat Garuda. Sebagian klub ISL seperti Sriwijaya FC dan Persija pun
melunak dengan memberi izin
beberapa pemainnya seperti Seftia
Hadi, Andritani, dan Ramdani
Lestaluhu bergabung dengan Timnas
U-22 yang dipersiapkan untuk kualifikasi Piala Asia. Namun bak petir di siang bolong,
keputusan sepihak Djohar Arifin
untuk tidak memperhitungkan juara
ISL, Sriwijaya FC, untuk mewakili
Indonesia pada Liga Champions Asia,
menggulung semua harapan itu. Djohar lebih memilih juara IPL, Semen
Padang, untuk mewakili Indonesia
karena menurutnya IPL-lah liga yang
diakui konfederasi. Padahal jika
merujuk pada MoU, ISL sendiri sudah
diakui berada di bawah PSSI, yang artinya statusnya sama legalnya
dengan IPL. Buntut dari ucapan itu adalah
ditariknya semua pemain ISL dari
timnas. Titik terang yang tadinya
sudah terlihat kini meredup, bahkan
hampir padam. Hal ini diperparah
dengan lambannya Joint Committee bekerja. Sementara akar rumput
sudah gregetan untuk mendapat
angin surga dari Komisi Gabungan. Gagalnya Joint Committee bekerja
disusul dengan keputusan PSSI La
Nyala untuk menggulirkan ISL musim
berikutnya pada November 2012.
Sebuah langkah yang jelas-jelas
mengangkangi keputusan MoU antara kedua belah pihak. Namun keputusan digulirkannya ISL
bukan tanpa perhitungan yang
matang. Melihat kinerja Joint
Committee yang luar biasa lamban,
sulit mengharapkan liga yang baru
dapat bergulir dalam waktu dekat. Sementara di sisi lain, walaupun klub
di Indonesia belum 100% profesional,
namun pemain-pemainnya
kebanyakan adalah pemain
profesional. Pemain yang menjadikan
sepakbola sebagai profesi utama, bukan sebagai sambilan. Nasib
pemain-pemain ini yang
dipertaruhkan jika liga tak kunjung
digelar. Tanpa ada liga, banyak
pemain yang tidak lagi terikat kontrak
hingga tidak memiliki penghasilan. Maka liga memang harus segera
digelar. Bukan hanya ISL yang harus
segera bergulir, IPL pun harusnya
demikian. Meskipun liga masih berjalan masing-
masing, bukan berarti Joint
Committee menjadi tidak berarti. Joint
Committee tetap harus terus bekerja
untuk menyatukan dualisme
kompetisi yang ada. Sementara untuk dualisme kepengurusan, harus
diserahkan sepenuhnya kepada
anggota melalui kongres. Apakah
akan tetap mempertahankan Djohar
Arifin, menggantinya dengan La
Nyala, atau menunjuk Ketua Umum baru? Apapun keputusan dari
kongres tersebut, itulah keputusan
yang terbaik yang harus diterima
oleh semua pihak, terasuk FIFA.